Oleh : Masri Pribumi
Tulisan ini lahir dari bentuk kepedulian terhadap sepakbola Aceh.
Shin Tae Yong yang saat ini menjadi pelatih Timnas Indonesia melihat 3 kelemahan utama yang menyebabkan prestasi sepakbola indonesia sulit berkembang yaitu mental profesional, makanan dan juga “weight training”.
Persoalan lain adalah kebiasaan memarahi kesalahan pemain di depan banyak orang yang selama ini dianggap tabu malah dipraktekkan STY untuk menjadi pelajaran bagi pemain lain agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. (Corbuzier, Deddy. “Shin Tae-Yong – Exclusive di CloseTheDoor”. 11/1/2021)
Persoalan pertama berupa mental profesional inilah yang hinggap pada pesebakbola Aceh khususnya. Pemain bebas berbuat sesuka hatinya di luar lapangan, kurangnya keinginan diri menjaga fisik dan kebugaran, mengkonsumsi makanan semaunya bahkan tak jarang merokok.
Membangun mental profesional inilah menjadi sebuah upaya besar klub pendatang baru sepakbola Aceh, Tajura Aceh Football Club. Tajura Aceh FC sendiri berhome base di Stadion Putroe Aloh, Alue Sungai Pinang -Kuta Jeumpa, Aceh Barat Daya dan berjuluk Laskar Cerana.
Dari manajemen klub tercatat nama Wisman yang saat ini masih menjabat sebagai ketua Askab PSSI Abdya sebagai presiden klub dan Idris sebagai sekretaris.
Lalu bagaimana hubungan perjuangan mental pro dengan Tajura Aceh FC ? Menjawab hal di atas, kita harus melihat dulu filosofi penabalan nama klub ini.
Tajura bukanlah singkatan dari perkumpulan atau organisasi melainkan nama tempat di negeri -Muammar Qadafi-Libya. Tajura sendiri adalah nama kota pesisir di barat Laut Libya, 23 km dari arah timur Tripoli.
Tajura sangat terkenal sebagai Camp ‘perlawanan’, tempat pendidikan militer para pasukan militan dari bangsa bangsa di dunia yang masih tertindas, termarjinalkan bahkan terzalimi.
Camp Tajura menjadi pusat penempaan fisik dan ideologi Sumatra Liberation National Front (ASLNF) bagi para pejuang Aceh Merdeka yang dikenal dengan gelar lulusan eks Libya.
Selain Aceh, pelatihan militer ini juga diikuti oleh pejuang-pejuang dari Pattani (Thailand), Moro (Filipina), Organisasi Pembebasan Palastina (PLO ), dan sayap militer perjuangan Irlandia (IRA). Ada juga dari Amerika latin dan banyak dari negera-negara Afrika pecahan dari Perancis (Baca acehkita.com, 1/9/2015)
Filosofi perjuangan dari nama camp inilah yang ingin ditanamkan pada seluruh skuad dan manajemen Tajura Aceh FC, “Sepakbola adalah spirit perjuangan melawan rasa inferior bukan pemain pro inilah yang harus dilawan”
Dalam era sepakbola modern, sepakbola Aceh masih menyimpan banyak persoalan, mulai dari pembinaan sepakbola jenjang usia, peningkatan SDM wasit dan pelatih sampai pembenahan kualitas dan mental pemain sekaligus kedewasaan publik pencinta sepakbola dalam menerima kelemahan klub atau bondennya.
Bagaimana tidak, sepakbola Aceh masih kental dengan intrik mafia skor yang membeli keberpihakan pengadil dan pemain, bahkan masih ada mereka yang memiliki power kekuasaan dan kepentingan kerap kali merekomendasikan ‘pemain titipan’, dan ini sudah menjadi rahasia umum.
Profesionalisme pengurus sepakbola masih terlihat terlalu rigid dan arogan dalam menjalankan sistem dan regulasi dalam mengambil kebijakan dan keputusan sehingga terkesan sepihak dan cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan.
Belum lagi kelatahan pendukung yang seringkali menjelma menjadi pelatih, manager dan pemain yang bukan sekedar memberi instruksi teknis tapi juga tanpa ampun memaki dan mencaci pengadil dan pemain di lapangan.
Sementara disisi bakat dan talenta, sepakbola masih menjadi olahraga paling populer dan dimainkan di seluruh pelosok Aceh dan seharusnya Aceh mampu melahirkan lebih banyak pesebakbola berlabel pemain timnas.
Dari sisi geliat ekonomi, sepakbola menjadi pendorong kuat dalam berkembangnya lapangan usaha dan sumber penghasilan. Kita tidak bisa menafikan kelancaran usaha sablon dan toko sport dari banyaknya kompetisi berjalan, baik tarkam maupun resmi.
Pengusaha sektor ini dituntut harus siap berbenah diri dan bersaing. Selain itu sepakbola menjadi sumber penghasilan dari pemain, pelatih, official dan pihak pihak lain yang terlibat dalam sepakbola.
Dari beberapa hal tersebut diatas pembangunan sepakbola Aceh seharusnya bisa lebih terintegrasi. Harus ada yang mengambil peran lebih memajukan sepakbola Aceh kedepan dalam frame “Road Map Sepakbola Aceh” yang mensinergikan pemerintah daerah, pengusaha dan pelaku sepakbola, dan jika pantas dan perlu bisa menyusun “Filosofi Sepakbola Aceh” sendiri.
Bagaimana menjadi seorang pemain profesional dan membangun klub mandiri tak pernah bisa lepas dari proses panjang, sementara hal hal negatif yang merusak iklim perkembangan sepakbola Aceh seperti pencurian umur, pemalsuan data pemain, mafia pengaturan skor, “black magic”, dan banyaknya pegiat yang mencari “untung” dari sepakbola masih sangat kentara.
Dalam hal ini, diantara dinamika dan kompleksitas permasalahan sepakbola Aceh, Tajura Aceh FC hadir. Membangun Klub sepakbola bukan karena semata mata ingin eksis namun menjadi klub yang mengatasnamakan perjuangan sebagai tim dengan skuad bermental profesional sebagai modal kuat untuk berprestasi.
Sebagai langkah awal, Tajura FC telah mengambil sikap dan tekad berpartisipasi dalam liga 3 Aceh 2021. Sementara pekan depan, Tajura Aceh FC sebagai salah satu peserta Soeratin Aceh U-17 siap unjuk diri di pentas sepakbola Aceh.
Tajura Aceh FC dengan pelatih Saiful Imran dan manager Saifullah SE berada di Group A bersama Persip Pasee, Kuala Nanggroe FC, PSLS Lhokseumawe, PS Peurelak Raya yang akan bermain di Stadion Mini Krueng Mane, berlangsung di Aceh Utara mulai tanggal 11 -18 Januari 2021.
Semoga Tajura Aceh FC yang mengangkat filosofi dari Spirit Perjuangan Camp Tajura mampu menunjukkan kelasnya sebagai klub dengan skuad bermental profesional dalam sepakbola. Salam olahraga.
Discussion about this post