Oleh: Ramadhan Al Faruq*
TAK dapat dipungkiri bahwa publik Indonesia sedang sangat “bahagia” dan bangga dengan capaian Timnas dalam beberapa waktu terakhir, minus “duka” timnas U17 asuhan Bima Sakti yang baru saja dipastikan gagal lolos ke Piala Asia U17 setelah sebelumnya tampil cukup sensasional dengan mencukur Guam dengan skor super telak 14-0 dan juga diikuti dua kemenangan lainnya atas UEA dan Palestina, sebelum di luar dugaan dihukum secara sadis oleh Malaysia dan akhirnya gagal lolos ke AFC Cup U17.
Publik sepak bola Indonesia umumnya selalu dan senantiasa mencintai timnas Indonesia dan juga berlaku sama bagi klub-klub lokal yang ada di daerah masing-masing, bahkan di saat-saat capaian tim kebanggaannya sedang sekarat dan terpuruk dukungan publik tak pernah surut.
Capaian Timnas Indonesia dalam beberapa waktu terakhir seakan menjadi jawaban dari harapan dan doa panjang yang telah lama dinantikan oleh pecinta sikulit bundar di Indonesia.
Bahkan kita juga tetap mencintai timnas Indonesia sekalipun di laga kandang gawang kita dibobol lawan, kita mencintai tim yang kita dukung dengan cara di luar nalar logis kebanyakan pencinta sepak bola di seluruh dunia.
Namun Ironisnya progres yang ditunjukkan timnas kita tidak berbanding lurus dengan perkembangan “kedewasaan” fans sepak bola kita untuk tumbuh menjadi fans sepak bola modern yang menjunjung tinggi nilai sportifitas dalam mendukung tim kebanggaannya.
Kita sangat fanatik, harus diakui itu!
Ada yang salah dari cara kita mencintai tim sepak bola kita selama ini, berbagai tindakan yang dilakukan suporter di arena sepak bola Indonesia semisal yang terjadi di Aceh saat stadion dibakar di laga Persiraja VS PSMS, di Pekan Baru juga fans PSPS mengamuk, bukan hanya di Liga 2 kejadian serupa juga terjadi di Liga 1 kita bisa lihat apa yang terjadi di Surabaya saat suporter ngamuk pasca kekalahan Persebaya dan terkhir tragedi di Kanjuruhan menjadi bukti shahih betapa kita masih belum dewasa sebagai pecinta sepak bola.
Tragedi maut tersebut lebih dari cukup untuk menasbihkan bahwa mentalitas kita dalam mendukung tim kebanggaan kita masih sangat jauh dari cara-cara modern. Mungkin kesalahan itu karena fans sepak bola kita terlalu fanatik, karena terlalu besar rasa cinta yang kita miliki. Seperti kata pujangga “cinta tidak mengenal dosa.”
“Tak ada logika untuk cinta.” Bahkan hakim sekalipun dilarang memutuskan perkara ketika sedang dimabuk cinta.
Untuk konteks sepak bola modern seperti yang sedang kita hadapi, cara suporter mencintai tim kebanggaannya di Indonesia sudah seharusnya pula dimodernisasi. Perubahan zaman menuntut untuk memperbaharui cara kita dalam mengekspresikan rasa cinta pada klub yang kita cintai.
Jika dulu terbiasa terbawa emosi sehingga cenderung brutal dalam menunjukkan rasa cintanya, maka sekarang pendukung dituntut untuk berubah. Mentalitas harus segera diubah. Kita wajib mencintai sepak bola dengan cara-cara yang modern, yang tidak melanggar aturan yang ditetapkan oleh otoritas penyelenggara kompetisi dan tentunya dengan mengedepankan akal sehat atas setiap tindkan yang kita lakukan.
Jika dulu kita tidak masuk ke lapangan saat tim kita bertanding karena dibatasi dengan tingginya pagar pembatas di antara penonton dan lapangan, kini harus membatasi diri sejak di alam pikiran untuk tidak bertindak arogan, tidak melanggar aturan.
Peristiwa seperti yang terjadi di Kanjuruhan adalah sebuah kesalahan fatal, mungkin iya kita begitu cinta sehingga tidak bisa terima tim kita kalah, Tapi kita harus menyadari bahwa cara itu salah, ini akan akan merugikan klub dan merusak citra sepak bola Indonesia secara keseluruhan.
Lalu harus bagaimana? Ya harus modernisasi mentalitas dalam mencintai tim yang kita dukung. Tidak perlu sampai harus dikerahkan aparat keamanan bersenjata lengkap untuk menahan agar penonton tidak masuk ke lapangan karena memang ada aturan yang tidak membolehkan penonton turun ke lapangan.
Coba lihat di Eropa? Adakah stadion yang membatasi penonton agar tidak masuk ke area lapangan untuk menyerang atau bahkan sekedar menjumpai pemain idola? Di sana cukup aturan yang menertibkan penonton, tidak perlu pagar pembatas apa lagi pagar betis aparat keamanan? Bukankah kita ingin tim yang kita cintai jadi tim profesional layaknya di Eropa?
Hayok teman-teman, hayok publik sepak bola Indonesia semuanya, hayok para pecinta sepak bola di manapun Anda berada, mari terus mencintai tim kebanggaan kita dan juga terus modernisasi cara mencintainya hingga akhirnya menjadi suporter yang baik yang benar-benar progressif untuk membantu perkembangan sepak bola Indonesia untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari, sehingga pada akhirnya semua bisa berteriak bangga di pinggir lapangan sebagai penonton paling keren se-Asean, Asia bahkan Dunia.
Untuk PSSI, kami sangat mengapresiasi keseriusannya dalam membangun Persepakbolaan Indonesia, yang sempat sangat terpuruk sebelum akhirnya kita menemukan secercah cahaya terang di bawah komando STY. Kami berharap ke depan PSSI dan manajemen tim-tim sepak bola di Indonesia juga bisa terus berbenah untuk terus menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Semua harus belajar dari kenyataan yang sedang dihadapi, banyak sekali PR yang mesti dituntaskan baik dari segi fasilitas maupun dari segi mentalitas. Mari kita ubah mentalitas kita untuk masa depan sepak bola Indonesia yang lebih baik!
* Penulis adala penggemar Persiraja dan Pecinta Sepak Bola Indonesia
Discussion about this post